Oleh:
Divisi Keilmuan HMJ Psikologi
Saat ini, industry teknologi berkembang dengan pesat, semua hal dapat kita peroleh dengan mudah melalui internet. Internet telah banyak menyajikan informasi tentang kedokteran dan Kesehatan- termasuk Mental Illness. Dengan perkembangan teknologi pasti ada dampak baik dan buruk dari penggunaannya. Jika kita mencari tau tentang gejala Mental Illness di internet, memang tidak ada salahnya akan tetapi bagaimana jika kita mengklaim bahwa diri kita mengidap penyakit dari gejala tersebut?
Tidak sedikit orang yang mencari tahu tentang
gejala Mental Illness di internet, namun tidak sedikit pula yang
melakukan self-diagnose terhadap kondisinya. Itu adalah hal yang
berbahaya! Gejala mental illness tidak dapat dijabarkan secara sederhana akan
tetapi membutuhkan ahli dibidangnya untuk mengkaji lebih lanjut.
Apa sih Self-Diagnose itu?
Mengutip dari www.hellosehat.com Self diagnose
adalah upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang di dapatkan
secara mandiri, misalnya dari teman atau keluarga, internet, atau bahkan
pengalaman sakit di masa lalu. Masyarakat
sangat mudah dalam mengkategorikan suatu kondisi. Misalnya, saat kita merasa
jenuh dengan keadaan pandemi yang mengaharuskan kita untuk belajar atau bekerja
dari rumah, kita merasa cemas dan khawatir yang berlebih hingga muncul gejala
sesak nafas dan memunculkan pikiran “Ada apa dengan ku ya? Apakah ini gejala
gangguan kecemasan?”
Bisa saja yang dialami bukanlah Mental Illness
melainkan penyakit fisik yang harus diobati. Karena tidak segera mencari
bantuan profesional, dan melakukan self-diagnose bahwa mengidap gangguan kecemasan,
individu tersebut berisiko untuk melewatkan penanganan medis.
Jika pernah melakukan hal seperti contoh diatas, hati-hati ya.. Self-Diagnose dapat berdampak buruk bagi Kesehatan.
Apakah Self-Diagnose berbahaya?
Ada beberapa
dampak buruk yang muncul Ketika melakukan self-diagnose, diantaranya :
1. 1. Salah dalam diagnosis
Menetapkan diagnosis tidaklah mudah. Diagnosis ditentukan berdasarkan hasil analisis dari gejala dan riwayat yang pernah dialami oleh seseorang. Mendiagnosa seseorang tidak bisa dilakukan oleh semua orang, hanya yang berwenang yang dapat mendiagnosa seperti Psikolog atau Dokter yang mahir dibidangnya. Tidak jarang dalam melakukan proses mendiagnosa dibutuhkan observasi mendalam terkait gejala yang dialami oleh seseorang, sehingga jika kita melakukan self-diagnose kita dapat melewatkan faktor-faktor penting tersebut.
2. 2. Salah dalam penanganan
Jika penetapan diagnosis tidak tepat, penanganannya kemungkinan besar juga keliru. Setelah melakukan self-diagnose seseorang akan cenderung membeli obat atau melakukan pengobatan lain yang salah. Tidak hanya itu, bahaya self-diagnose lainnya adalah dapat menunda berkonsultasi dengan ahli kejiwaan seperti Psikolog atau Psikiater dan mendapatkan penanganan yang paling tepat. Menurut ahli, melakukan self-diagnose dan meyakini diri sendiri menderita gangguan mental tertentu, tidak membantu seseorang untuk pulih. Malah sebaliknya, tindakan tersebut berisiko memperburuk kondisi kejiwaan.
Informasi yang kita dapat dari internet boleh saja kita baca untuk memperluas wawasan, namun untuk penanganan lebih lanjut kita harus menemui orang yang ahli dibidangnya seperti Psikolog atau Psikiater. Karena dengan self-diagnose yang salah dapat menyebabkan indikasi penyakit lain yang sebenarnya dialami menjadi terabaikan. Karena self-diagnose adalah hal yang serius, sebaiknya kita tidak memandang remeh terhadap hal tersebut. Lakukan pemeriksaan lebih lanjut agar hal-hal yang tidak diinginkan dapat diketahui sejak dini.
Referensi
:
Santosa, F., Purwadianto, A., Sidipratomo, P.,
Pratama, P., & Prawiroharjo, P. (2018). Sikap Etis Dokter terhadap Pasien
yang “Mendiagnosis” Diri Sendiri Menggunakan Informasi Internet pada Era Cyber
Medicine. Jurnal Etika Kedokteran Indonesia, 2(2), 53.
https://psikologi.unisba.ac.id
Komentar
Posting Komentar