Langsung ke konten utama

Fun Fact: Desonansi Kognitif

 Oleh:

Divisi Keilmuan HMJ Psikologi UIN Walisongo Semarang

Definisi

Konsep disonansi kognitif telah lama menjadi salah satu teori yang berpengaruh dalam keilmuan psikologi sosial. Teori ini juga menjadi subjek penelitian yang banyak dilakukan oleh para ahli. Disonansi kognitif adalah istilah yang merujuk pada kondisi mental yang tidak nyaman saat menghadapi dua keyakinan atau nilai yang berbeda. Kondisi ini juga terjadi ketika seseorang melakukan hal yang tidak sesuai dengan nilai dan keyakinan yang dianut. Istilah disonansi kognitif diperkenalkan sebagai teori oleh ahli yang bernama Leon Festinger tahun 1957.

Teori disonansi kognitif berpusat pada bagaimana seseorang berusaha untuk mendapatkan konsistensi dan kesesuaian dalam sikap dan perilaku mereka. Melalui teori ini, Festinger menunjukkan bahwa setiap orang memiliki dorongan batin untuk menjaga semua sikap dan perilaku tetap selaras serta menghindari ketidakharmonisan (disonansi). Bila disonansi ini terjadi, sesuatu harus berubah untuk menyelaraskan kembali situasi tersebut. Ketidaksesuaian saat mengalami disonansi kognitif membuat seseorang akan mencari cara untuk mengurangi ketidaknyaman tersebut.

Tanda Orang Yang Mengalami Disonansi Kognitif

        Adapun berikut adalah beberapa tanda seseorang mengalami disonansi kognitif:

1. Merasa cemas sebelum melakukan sesuatu atau mengambil keputusan.

2. Mencoba membenarkan atau merasionalisasi keputusan atau tindakan yang telah diambil.

3. Merasa malu akan tindakan yang Anda ambil atau kecenderungan untuk menyembunyikannya.

4. Merasa bersalah atau menyesal tentang sesuatu yang pernah Anda lakukan.

5. Menghindari percakapan tentang topik tertentu atau informasi baru yang bertentangan dengan keyakinan.

6. Melakukan sesuatu karena tekanan sosial meski itu bukan hal yang Anda inginkan.

7. Mengabaikan informasi yang menyebabkan disonansi.

Penyebab Disonansi Kognitif

1. Tekanan dari orang lain

        Disonansi sering terjadi akibat paksaan atau tekanan dari orang atau pihak lain. Hal ini seringkali terjadi di sekolah, tempat bekerja, atau situasi sosial. Sebagai contoh, melakukan sesuatu di kantor yang tidak sesuai dengan isi hati Anda agar tidak dipecat oleh atasan.

2. Pengambilan keputusan

        Membuat keputusan dari dua pilihan seringkali menimbulkan disonansi, karena keduanya sama-sama menarik. Salah satu contoh disonansi kognitif ini, yaitu bila Anda harus memutuskan apakah akan menerima pekerjaan di daerah yang indah atau menolak pekerjaan tersebut agar bisa terus dekat dengan keluarga. Jika sudah memilih, Anda akan mencari argumen yang menguatkan bahwa Anda tidak salah mengambil keputusan.

3. Upaya mencapai tujuan

        Disonansi bisa terjadi jika Anda sedang berupaya keras untuk mencapai suatu tujuan dan kemudian mengevaluasinya secara negatif. Sebagai contoh, Anda mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mencapai suatu tujuan. Kemudian Anda menyadari bahwa waktu ini terlalu panjang hanya untuk satu tujuan tersebut. Guna menghindari disonansi ini, Anda meyakinkan diri bahwa Anda tidak menghabiskan waktu dan berpikir bahwa waktu yang telah Anda lalui ini benar-benar sangat menyenangkan.

Cara Mengatasi Disonansi Kognitif

        Disonansi kognitif sering menimbulkan rasa tidak nyaman, seperti merasa bersalah, malu, hingga kecenderungan stres. Oleh karena itu, Anda perlu mengambil langkah untuk mengurangi disonansi serta menghilangkan perasaan bersalah, stres, mengatasi rasa malu, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan tersebut.

Berikut cara yang bisa Anda lakukan:

1. Mengubah keyakinan

        Anda bisa mengubah keyakinan untuk mengurangi perasaan tidak nyaman akibat disonansi yang muncul. Meski demikian, melakukan cara ini memang tidaklah mudah. Pasalnya, Anda mungkin sulit mengubah apa yang sudah selama ini Anda yakini.

2. Menambah keyakinan baru

        Menambah informasi atau keyakinan baru bisa membantu mengatasi disonansi kognitif. Sebagai contoh, Anda berpikir bahwa merokok bisa menyebabkan kanker paru-paru, tetapi Anda tetap saja merokok. Untuk mengurangi perasaan tidak nyaman akibat disonansi tersebut, kemudian Anda menambah informasi baru yang terkait, seperti “belum ada penelitian yang dapat membuktikan bahwa merokok bisa menyebabkan kanker paru-paru“.

3. Membenarkan tindakan

        Cara lainnya untuk mengurangi disonansi adalah dengan membenarkan keputusan atau tindakan yang Anda ambil. Sebagai contoh, seorang penderita hipertensi mengetahui bahwa mengonsumsi makanan bergaram tidak baik bagi kesehatannya, tetapi ia tetap saja mengonsumsinya. Namun, ia berdalih bahwa ia rutin berolahraga dan tetap mengonsumsi sayuran dan buah-buahan untuk menyeimbangkannya.

Contoh Dalam Kehidupan Sehari-hari

        Festinger menjelaskan, seorang perokok yang mengetahui bahwa merokok bahaya bagi kesehatan mengalami disonansi. Pasalnya, ia tetap saja merokok walau sadar tindakan tersebut tidak baik untuk kesehatannya. Akibat ketidakselarasan tersebut, ia mengubah perilakunya, seperti berhenti merokok, agar selaras dengan keyakinannya. Namun, ia bisa juga mengubah pemikirannya bahwa rokok tidak berbahaya atau mencari efek positif dari merokok, seperti mempercayai bahwa merokok dapat mengurangi stres dan mencegah penambahan berat badan.

Sumber:

https://www.sehatq.com/artikel/mengenal-disonansi-kognitif-konflik-batin-yang-sering-terjadi-dalam-hidup

https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/disonansi-kognitif/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fun Fact: Kalian Tau Gak Sih Erotomania Itu Apa? Yuk Sama-sama Kita Belajar Bareng

EROTOMANIA      Erotomania adalah kondisi di mana seseorang meyakini dengan kuat bahwa ada seseorang yang mencintainya, meskipun kenyataannya tidak demikian. Bahkan, dalam beberapa kasus, penderita erotomania mungkin meyakini bahwa orang terkenal tertentu mencintainya.      Orang dengan erotomania memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka sedang disukai oleh seseorang, meskipun orang tersebut mungkin tidak mengenal atau pernah bertemu dengan mereka.       Gangguan delusi erotomania bisa muncul hanya dari berkhayal, mendengar berita, atau melihat aktivitas di media sosial seseorang. Meskipun gangguan ini lebih umum dialami oleh wanita, pria juga dapat mengalaminya. Gejala yang dapat menjadi tanda-tanda seseorang sedang mengalami gangguan erotomania      Selain keyakinan yang berlebihan bahwa seseorang mencintainya, penderita erotomania juga mungkin mengalami gejala-gejala berikut: Menghabiskan waktu berbicara tentang orang yang ...

Fun Fact : Pernahkah kamu mendengar tentang Impostor Syndrome? mari kita sama-sama mempelajarinya!

  IMPOSTOR SYNDROME Impostor syndrome adalah perasaan dimana seseorang merasa kesuksesan mereka disebabkan oleh kebetulan atau keberuntungan atau usaha keras yang misterius dan bukan karena kemampuan dan kompetensi mereka sendiri, hal ini dapat diukur melalui fake, luck dan discount. Orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terbentuknya fenomena Impostor Syndrome pada anak-anak mereka. Ketika bertemu dengan penderita Impostor Syndrome yang sudah dewasa, pesan atau perilaku yang diberikan oleh orang tua mereka di masa kanak-kanak adalah faktor pendorong munculnya Impostor Syndrome . Pesan yang biasanya diterima dari orang tua hanyalah kritik dan jarang mendapat pujian dari orang tua. Ketika seorang anak mendengar kritik yang konsisten untuk sesuatu yang tidak sempurna, mereka belajar bahwa tidak ada hal lain yang penting, orang tua hanya memperhatikan tentang kesalahan yang dilakukan oleh anak mereka. Di sisi lain, jika anak tidak pernah menerima pujian apa pun...

Fun Fact : Pernahkah kamu mendengar istilah "SELF CARE" ?? Yuk kita cari tau sama-sama

SELF CARE        Self-care merujuk pada tindakan individu untuk merawat dirinya sendiri secara fisik, mental, dan emosional guna menjaga kesejahteraan dan kualitas hidupnya. Self-care adalah konsep yang melibatkan kesadaran individu terhadap kebutuhan pribadinya serta pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ini dapat mencakup hal-hal seperti istirahat yang cukup, menjaga pola makan sehat, olahraga, meditasi, hingga mengelola stres dan emosi.      Menurut World Health Organization (WHO), self-care adalah kemampuan individu, keluarga, dan komunitas untuk mempromosikan kesehatan, mencegah penyakit, menjaga kesehatan, dan mengatasi penyakit dengan atau tanpa dukungan tenaga kesehatan. Aspek Self-Care: 1. Self-Care Fisik: Melibatkan kegiatan yang membantu menjaga kesehatan fisik, seperti tidur yang cukup, pola makan seimbang, olahraga rutin, dan menjaga kebersihan diri. 2. Self-Care Mental: Fokus pada menjaga kesehatan mental dan emosional ...