Langsung ke konten utama

Fun Fact : Hindari Toxic Masculinity! Inilah Dampaknya



Oleh:
Divisi Keilmuan HMJ Psikologi UIN Walisongo

Toxic masculinity adalah sebuah budaya yang menuntut kaum laki-laki untuk menunjukkan sikap maskulinnya. Sebenarnya sikap maskulin merupakan sebuah karakteristik yang baik. Namun, toxic masculinity ini mempunyai pemahaman konsep yang salah, sehingga salah arah dan menjadi sebuah racun dalam kehidupan (Jufanny & Girsang, 2020).

Toxic masculinity mengharuskan adanya nilai nilai tertentu pada kaum laki-laki. Nilai-nilai yang harus ada pada laki-laki tersebut seperti pantang menyerah, harus mempunyai kekuasaan, dominan, menunjukkan kekuatan, dan menghindari mengekspresikan emosi diri seperti menangis, dan tidak boleh menunjukkan bahwa lelaki itu lemah lembut bahkan bersifat gentle tetap salah. Sikap laki-laki lainnya yang harus ada dalam diri adalah pantang untuk menerima bantuan orang lain dan tidak boleh bergantung pada orang lain. Menunjukkan sikap butuh kasih sayang, butuh kehangatan atau butuh kenyamanan dari seorang perempuan juga pantang untuk diperlihatkan. Semua perilaku tersebut untuk menghindar dari stigma bahwa lelaki itu lemah. Dari adanya nilai yang salah arah tersebut dapat menyebabkan bahaya bagi keberadaan perempuan dan kaum laki-laki sendiri. Jika laki-laki yang sudah mengikuti tuntutan tersebut, bisa jadi ia akan bersifat kasar pada pasangannya dan dapat merugikan bagi banyak kaum.

Selain itu, ada kondisi yang menyebabkan seseorang memiliki toxic masculinity. Salah satunya yaitu budaya. Dengan demikian budaya dapat mendefinisikan maskulinitas dan keuntungan dari menonjolkan sikap maskulin dan sikap maskulinitas pun disalahgunakan hingga menjadi sebuah pemahaman konsep yang menyebar di masyarakat. 

Toxic masculinity memilki dampak terhadap diri sendiri akibat hubungan sosial yang semakin tidak sehat, hal ini akibat dari perilaku toxic itu sendiri. Jika dalam kehidupan sehari-hari dengan menerapkan toxic masculinity maka akan membawa pengaruh buruk pada lingkungan dan dapat menyebabkan renggangnya relationship. Misalnya jika pasangan laki-laki terjebak pada toxic masculinity ia akan cenderung keras kepala, kasar, dan pemarah karena ia merasa harus dominan dalam sebuah hubungan. Dampak lain yang menjadikan laki-laki sebuah korban adalah ketika lingkungan sekitar menuntut laki-laki untuk memenuhi sifat maskulin yang berlebihan, maka laki-laki yang tidak bisa menyesuaikan dirinya akan berakibat buruk bagi dirinya, seperti: 
  • Depresi
  • Terganggunya hubungan relationship 
  • Tidak bisa mengekspresikan emosi diri
  • Penyalahgunaan zat berbahaya
  • Mengalami tekanan yang berbahaya
  • Fungsi sosial yang buruk 

Memahami dampak yang sangat bahaya tersebut, toxic masculinity dapat dihindari atau dicegah dengan cara mengajarkan anak laki-laki mengekspresikan emosi diri seperti sedih. Jangan tanamkan emosi sedih sebagai hal yang tabu. Karena sejatinya, manusia memiliki emosi yang harus diungkapkan dan dirasakan. Mengajarkan menumbuhkan rasa empati pada laki-laki, karena rasa empati tidak bisa timbul begitu saja namun perlu dilatih dan dilakukan secara perlahan. Menghindari kalimat yang merendahkan perempuan juga.



Sumber : Jufanny, D., & Girsang, L. R. M. (2020). Toxic Masculinity Dalam Sistem Patriarki (Analisis Wacana Kritis Van Dijk Dalam Film “ Posesif ”). Jurnal Semiotika, 14(1), 8–23.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fun Fact: Kalian Tau Gak Sih Erotomania Itu Apa? Yuk Sama-sama Kita Belajar Bareng

EROTOMANIA      Erotomania adalah kondisi di mana seseorang meyakini dengan kuat bahwa ada seseorang yang mencintainya, meskipun kenyataannya tidak demikian. Bahkan, dalam beberapa kasus, penderita erotomania mungkin meyakini bahwa orang terkenal tertentu mencintainya.      Orang dengan erotomania memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka sedang disukai oleh seseorang, meskipun orang tersebut mungkin tidak mengenal atau pernah bertemu dengan mereka.       Gangguan delusi erotomania bisa muncul hanya dari berkhayal, mendengar berita, atau melihat aktivitas di media sosial seseorang. Meskipun gangguan ini lebih umum dialami oleh wanita, pria juga dapat mengalaminya. Gejala yang dapat menjadi tanda-tanda seseorang sedang mengalami gangguan erotomania      Selain keyakinan yang berlebihan bahwa seseorang mencintainya, penderita erotomania juga mungkin mengalami gejala-gejala berikut: Menghabiskan waktu berbicara tentang orang yang ...

Fun Fact : Pernahkah kamu mendengar tentang Impostor Syndrome? mari kita sama-sama mempelajarinya!

  IMPOSTOR SYNDROME Impostor syndrome adalah perasaan dimana seseorang merasa kesuksesan mereka disebabkan oleh kebetulan atau keberuntungan atau usaha keras yang misterius dan bukan karena kemampuan dan kompetensi mereka sendiri, hal ini dapat diukur melalui fake, luck dan discount. Orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terbentuknya fenomena Impostor Syndrome pada anak-anak mereka. Ketika bertemu dengan penderita Impostor Syndrome yang sudah dewasa, pesan atau perilaku yang diberikan oleh orang tua mereka di masa kanak-kanak adalah faktor pendorong munculnya Impostor Syndrome . Pesan yang biasanya diterima dari orang tua hanyalah kritik dan jarang mendapat pujian dari orang tua. Ketika seorang anak mendengar kritik yang konsisten untuk sesuatu yang tidak sempurna, mereka belajar bahwa tidak ada hal lain yang penting, orang tua hanya memperhatikan tentang kesalahan yang dilakukan oleh anak mereka. Di sisi lain, jika anak tidak pernah menerima pujian apa pun...

Fun Fact : Pernahkah kamu mendengar istilah "SELF CARE" ?? Yuk kita cari tau sama-sama

SELF CARE        Self-care merujuk pada tindakan individu untuk merawat dirinya sendiri secara fisik, mental, dan emosional guna menjaga kesejahteraan dan kualitas hidupnya. Self-care adalah konsep yang melibatkan kesadaran individu terhadap kebutuhan pribadinya serta pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ini dapat mencakup hal-hal seperti istirahat yang cukup, menjaga pola makan sehat, olahraga, meditasi, hingga mengelola stres dan emosi.      Menurut World Health Organization (WHO), self-care adalah kemampuan individu, keluarga, dan komunitas untuk mempromosikan kesehatan, mencegah penyakit, menjaga kesehatan, dan mengatasi penyakit dengan atau tanpa dukungan tenaga kesehatan. Aspek Self-Care: 1. Self-Care Fisik: Melibatkan kegiatan yang membantu menjaga kesehatan fisik, seperti tidur yang cukup, pola makan seimbang, olahraga rutin, dan menjaga kebersihan diri. 2. Self-Care Mental: Fokus pada menjaga kesehatan mental dan emosional ...