Cinderella Complex pada dasarnya adalah jaringan sikap dan kecemasan yang terpendam yang membuat wanita tidak menggunakan pikiran dan kreativitas mereka sepenuhnya, sama seperti Cinderella, mereka selalu menunggu sesuatu yang di luar mengubah hidup mereka (Dowling, 1981). Mereka percaya bahwa akan ada “pangeran” atau sesuatu di luar diri mereka yang akan mengubah hidup mereka (Wang & Liao, 2007).
Cinderella Complex diyakini memiliki efek negatif pada perkembangan perempuan, termasuk mempengaruhi bagaimana perempuan menanggapi lingkungannya (Aggriany & Astuti dalam Mayangsari, 2013). Kompleksitas Cinderella juga berdampak pada produktivitas perempuan, seperti menghambat semua jenis kapasitas perempuan, menjauhkan mereka dari menjadi diri sendiri, menjadi kurang antusias dan kurang terlibat dalam lingkungan tempat kerja mereka (Dowling, 1981). Bagi perempuan di sekolah menengah, kompleksitas Cinderella mungkin menjadi salah satu penyebab prokrastinasi akademik (Mayangsari, 2013), yang membuat perempuan enggan menyelesaikan tugasnya dan memilih untuk bergantung pada orang lain.
Masalah dengan Cinderella Complex dimulai pada masa kanak-kanak. Sebagai anak-anak, anak perempuan tidak belajar untuk menjadi tegas dan mandiri, pada kenyataannya, mereka lebih cenderung belajar menjadi ragu-ragu dan bergantung, dan itu ada hubungannya dengan cara mereka dibesarkan (Symond dalam Dowling, 1981). Pengaruh orang tua yang diperoleh pada masa kanak-kanak cenderung memanifestasikan dirinya dalam perilaku di masa dewasa (Fitriani, Arjanggi & Rohmatun, 2010). Teladan orang tua yang terus dirasakan oleh anak hingga dewasa akan terus mempengaruhi masa hidup mereka (Rothrauff, Conney, & An,
2009).
Faktor yang Mempengaruhi Cinderella Complex
Dowling (1995) menyatakan bahwa perkembangan kompleks Cinderella betina tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain
1) pola asuh orang tua,
2) kedewasaan pribadi, dan
3) konsep diri.
Cinderella Complex dalam Pandangan Perkembangan Psikoanalisis
Kisah dongeng anak cinderella dan kaitanya dengan perkembangan sosial dan emosional, merupakan kisah yang Carl G Jung intepretasikan dalam konstruk psikologis yaitu persona. Stein (dalam Marks, 2013) menjelaskan persona adalah konstruk psikologis yang timbul dari kebutuhan untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial. Hal tersebut mulai terbentuk pada anak usia dini dalam menanggapi harapan orang tua, guru, dan teman sebaya. Persona diibaratkan sebagai topeng publik satu memakai bisa diterima dunia. Sedangkan persona memegang ciri diterima, yang tidak diinginkan ditekan, mengingkari, dan diturunkan ke ketidaksadaran pribadi, di mana mereka bergabung untuk membentuk struktur kebalikannya dalam jiwa: bayangan. Karena tujuan dari perkembangan psikologis adalah integrasi, hubungan ego untuk bayangan, persona, dan Self berjalan melalui perubahan besar pada pertengahan kehidupan.
Cinderella Complex dalam Perspektif Perkembangan Gender
Cinderella Complex terbentuk berawal dari perbedaan perlakuan yang diterima oleh anak perempuan dan anak laki-laki ketika kecil. Sejak kecil anak perempuan mendapatkan dispensasi secara tidak langsung dalam hal kemandirian. Pria dididik untuk menjadi mandiri sejak hari mereka dilahirkan dengan cara yang sama sistematisnya, wanita diajarakan untuk tidak dikhawatirkan kepada permasalahan yang besar, sedangkan pria dituntut untuk bisa melakukan berbagai macam hal. Namun hal tersebut dipengaruhi oleh bagaimana budaya mempengaruhi stereotipe dalam membedakan anatara lakilaki dan perempuan (Vargheze, 2015) Menyebutkan perempuan merasa inferior bukan karena internalisasi dan sosialisasi gender dari lingkungannya. Selama tahap falik yaitu pada usia 3-6 tahun, perkembangan identifikasi gender pada laki-laki dan perempuan berbeda. Pada perempuan, identifikasi feminin itu dimulai ketika anak perempuan mengalami kecemburuan terhadap penis karena tidak memiliki penis seperti halnya laki-laki. Anak perempuan merasa inferior lalu menyalahkan ibunya dan menarik afeksi dari ibunya sehingga menjadikan ayahnya sebagai objek cinta. Anak perempuan kemudian menyadari bahwa dia tidak akan memiliki ayahnya sehingga menyusun kembali identifikasi feminin dengan ibunya dan mencoba menjadi objek cinta bagi laki-laki.
Sumber:
Dowling, Colette. 1995. Tantangan Wanita Modern : Ketakutan Wanita akan Kemandirian. Alih bahasa: Santi, W.E., Soekanto. Jakarta: Erlangga

Komentar
Posting Komentar