Langsung ke konten utama

Fun Fact: Yuk, Bersama Mengenal Cinderella Complex!


Oleh:
Divisi Keilmuan HMJ Psikologi UIN Walisongo


Kisah Cinderella adalah dongeng tradisional dengan banyak variasi di berbagai belahan dunia. Cinderella adalah dongeng tentang seorang gadis cantik dan baik hati yang tinggal bersama ibu tirinya dan dua saudara tirinya. Selama bersama mereka, Cinderella mengalami berbagai siksaan, dan hidupnya menjadi sempurna ketika pangeran yang menemukan sepatu kaca menikahinya hingga dia mengakhiri hidupnya dengan bahagia.

Cinderella Complex pada dasarnya adalah jaringan sikap dan kecemasan yang terpendam yang membuat wanita tidak menggunakan pikiran dan kreativitas mereka sepenuhnya, sama seperti Cinderella, mereka selalu menunggu sesuatu yang di luar mengubah hidup mereka (Dowling, 1981). Mereka percaya bahwa akan ada “pangeran” atau sesuatu di luar diri mereka yang akan mengubah hidup mereka (Wang & Liao, 2007). 

Cinderella Complex diyakini memiliki efek negatif pada perkembangan perempuan, termasuk mempengaruhi bagaimana perempuan menanggapi lingkungannya (Aggriany & Astuti dalam Mayangsari, 2013). Kompleksitas Cinderella juga berdampak pada produktivitas perempuan, seperti menghambat semua jenis kapasitas perempuan, menjauhkan mereka dari menjadi diri sendiri, menjadi kurang antusias dan kurang terlibat dalam lingkungan tempat kerja mereka (Dowling, 1981). Bagi perempuan di sekolah menengah, kompleksitas Cinderella mungkin menjadi salah satu penyebab prokrastinasi akademik (Mayangsari, 2013), yang membuat perempuan enggan menyelesaikan tugasnya dan memilih untuk bergantung pada orang lain. 

Masalah dengan Cinderella Complex dimulai pada masa kanak-kanak. Sebagai anak-anak, anak perempuan tidak belajar untuk menjadi tegas dan mandiri, pada kenyataannya, mereka lebih cenderung belajar menjadi ragu-ragu dan bergantung, dan itu ada hubungannya dengan cara mereka dibesarkan (Symond dalam Dowling, 1981). Pengaruh orang tua yang diperoleh pada masa kanak-kanak cenderung memanifestasikan dirinya dalam perilaku di masa dewasa (Fitriani, Arjanggi & Rohmatun, 2010). Teladan orang tua yang terus dirasakan oleh anak hingga dewasa akan terus mempengaruhi masa hidup mereka (Rothrauff, Conney, & An, 

2009).


Faktor yang Mempengaruhi Cinderella Complex

Dowling (1995) menyatakan bahwa perkembangan kompleks Cinderella betina tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain

1) pola asuh orang tua,

2) kedewasaan pribadi, dan

3) konsep diri.


Cinderella Complex dalam Pandangan Perkembangan Psikoanalisis

Kisah dongeng anak cinderella dan kaitanya dengan perkembangan sosial dan emosional, merupakan kisah yang Carl G Jung intepretasikan dalam konstruk psikologis yaitu persona. Stein (dalam Marks, 2013) menjelaskan persona adalah konstruk psikologis yang timbul dari kebutuhan untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial. Hal tersebut mulai terbentuk pada anak usia dini dalam menanggapi harapan orang tua, guru, dan teman sebaya. Persona diibaratkan sebagai topeng publik satu memakai bisa diterima dunia. Sedangkan persona memegang ciri diterima, yang tidak diinginkan ditekan, mengingkari, dan diturunkan ke ketidaksadaran pribadi, di mana mereka bergabung untuk membentuk struktur kebalikannya dalam jiwa: bayangan. Karena tujuan dari perkembangan psikologis adalah integrasi, hubungan ego untuk bayangan, persona, dan Self berjalan melalui perubahan besar pada pertengahan kehidupan.


Cinderella Complex dalam Perspektif Perkembangan Gender

Cinderella Complex terbentuk berawal dari perbedaan perlakuan yang diterima oleh anak perempuan dan anak laki-laki ketika kecil. Sejak kecil anak perempuan mendapatkan dispensasi secara tidak langsung dalam hal kemandirian. Pria dididik untuk menjadi mandiri sejak hari mereka dilahirkan dengan cara yang sama sistematisnya, wanita diajarakan untuk tidak dikhawatirkan kepada permasalahan yang besar, sedangkan pria dituntut untuk bisa melakukan berbagai macam hal. Namun hal tersebut dipengaruhi oleh bagaimana budaya mempengaruhi stereotipe dalam membedakan anatara lakilaki dan perempuan (Vargheze, 2015) Menyebutkan perempuan merasa inferior bukan karena internalisasi dan sosialisasi gender dari lingkungannya. Selama tahap falik yaitu pada usia 3-6 tahun, perkembangan identifikasi gender pada laki-laki dan perempuan berbeda. Pada perempuan, identifikasi feminin itu dimulai ketika anak perempuan mengalami kecemburuan terhadap penis karena tidak memiliki penis seperti halnya laki-laki. Anak perempuan merasa inferior lalu menyalahkan ibunya dan menarik afeksi dari ibunya sehingga menjadikan ayahnya sebagai objek cinta. Anak perempuan kemudian menyadari bahwa dia tidak akan memiliki ayahnya sehingga menyusun kembali identifikasi feminin dengan ibunya dan mencoba menjadi objek cinta bagi laki-laki.



Sumber:

Dowling, Colette. 1995. Tantangan Wanita Modern : Ketakutan Wanita akan Kemandirian. Alih bahasa: Santi, W.E., Soekanto. Jakarta: Erlangga




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fun Fact: Kalian Tau Gak Sih Erotomania Itu Apa? Yuk Sama-sama Kita Belajar Bareng

EROTOMANIA      Erotomania adalah kondisi di mana seseorang meyakini dengan kuat bahwa ada seseorang yang mencintainya, meskipun kenyataannya tidak demikian. Bahkan, dalam beberapa kasus, penderita erotomania mungkin meyakini bahwa orang terkenal tertentu mencintainya.      Orang dengan erotomania memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka sedang disukai oleh seseorang, meskipun orang tersebut mungkin tidak mengenal atau pernah bertemu dengan mereka.       Gangguan delusi erotomania bisa muncul hanya dari berkhayal, mendengar berita, atau melihat aktivitas di media sosial seseorang. Meskipun gangguan ini lebih umum dialami oleh wanita, pria juga dapat mengalaminya. Gejala yang dapat menjadi tanda-tanda seseorang sedang mengalami gangguan erotomania      Selain keyakinan yang berlebihan bahwa seseorang mencintainya, penderita erotomania juga mungkin mengalami gejala-gejala berikut: Menghabiskan waktu berbicara tentang orang yang ...

Fun Fact : Pernahkah kamu mendengar tentang Impostor Syndrome? mari kita sama-sama mempelajarinya!

  IMPOSTOR SYNDROME Impostor syndrome adalah perasaan dimana seseorang merasa kesuksesan mereka disebabkan oleh kebetulan atau keberuntungan atau usaha keras yang misterius dan bukan karena kemampuan dan kompetensi mereka sendiri, hal ini dapat diukur melalui fake, luck dan discount. Orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terbentuknya fenomena Impostor Syndrome pada anak-anak mereka. Ketika bertemu dengan penderita Impostor Syndrome yang sudah dewasa, pesan atau perilaku yang diberikan oleh orang tua mereka di masa kanak-kanak adalah faktor pendorong munculnya Impostor Syndrome . Pesan yang biasanya diterima dari orang tua hanyalah kritik dan jarang mendapat pujian dari orang tua. Ketika seorang anak mendengar kritik yang konsisten untuk sesuatu yang tidak sempurna, mereka belajar bahwa tidak ada hal lain yang penting, orang tua hanya memperhatikan tentang kesalahan yang dilakukan oleh anak mereka. Di sisi lain, jika anak tidak pernah menerima pujian apa pun...

Fun Fact : Pernahkah kamu mendengar istilah "SELF CARE" ?? Yuk kita cari tau sama-sama

SELF CARE        Self-care merujuk pada tindakan individu untuk merawat dirinya sendiri secara fisik, mental, dan emosional guna menjaga kesejahteraan dan kualitas hidupnya. Self-care adalah konsep yang melibatkan kesadaran individu terhadap kebutuhan pribadinya serta pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ini dapat mencakup hal-hal seperti istirahat yang cukup, menjaga pola makan sehat, olahraga, meditasi, hingga mengelola stres dan emosi.      Menurut World Health Organization (WHO), self-care adalah kemampuan individu, keluarga, dan komunitas untuk mempromosikan kesehatan, mencegah penyakit, menjaga kesehatan, dan mengatasi penyakit dengan atau tanpa dukungan tenaga kesehatan. Aspek Self-Care: 1. Self-Care Fisik: Melibatkan kegiatan yang membantu menjaga kesehatan fisik, seperti tidur yang cukup, pola makan seimbang, olahraga rutin, dan menjaga kebersihan diri. 2. Self-Care Mental: Fokus pada menjaga kesehatan mental dan emosional ...