Langsung ke konten utama

Fun Fact : Taukah kamu, apa itu Toxic Positivity ? Yuk pelajari bersama-sama



TOXIC POSITIVITY 

    Di era globalisasi, toxic positivity memiliki pengaruh yang cukup besar dan tidak jarang juga banyak orang  yang  mengalami  toxic  positivity  dikehidupan  sosial  dan  individual  mereka.  Menurut  Cherry.  K toxic  positivity  merupakan  kepercayaan  bahwa  seberapa  sulit  dan  mengerikannya  keadaan  yang  ada, seseorang  harus  mepertahankan  pemikiran  positif.  sedangkan  menurut  Quintero  dan  Long  toxic positivity adalah hal yang berfokus pada sisi positif dan mengabaikan emosi negatif, serta memaksakan seseorang untuk tetap positif dikeadaan yang tidak baik-baik saja (Geaby& Hendro, 2021)

    Toxic positivity pada umumnya dapat terjadi pada siapa saja dan siapa saja dapat melakukan toxic positivity, karena tanpa disadari ketika seseorang sedang menceritakan masalah yang sedang dialaminya, banyak  respon  penyemangat  yang  kita  berikan.  Namun,  belum  tentu  orang  tersebut  dapat  menerima motivasi yang kita berikan dan sebaliknya malah terkesan meremehkan masalah yang sedang dihadapi. (Zhofiroh, 2022).

    Fenomena  toxic positivity  di  era  globalisasi  sudah  menjadi  sebuah  kebiasaan  di  masyarakat  yang mengharuskan  setiap  orang  harus  tetap  bahagia  apapun  kondisinya,  walaupun  sedang  tidak  baik-baik saja. Jika hal ini sudah menjadi sebuah kebiasaan, maka akan berdampak buruk pada kesehatah mental seseorang. Ketika seseorang sedang dihadapkan dengan masalah, mereka akan berusaha untuk menutupi masalahnya  dengan  orang  lain.  Oleh  karena  itu  banyak  orang  yang  lebih  memilih  diam  dari  pada menceritakan  masalahnya  dengan  orang  lain,  karena  mereka  tidak  ingin  dianggap  remeh  dan  tidak dihargai(Jati, 2022)

    Toxic  Positivity  sangatlah  berbahaya  bagi  kesehatan mental  dan  bahkan  dapat  memberikan  banyak  dampak  buruk  lainnya  untuk  diri  seseorang  yang mengalami  gejala  tersebut,  seperti  depresi,  menjadi  tidak  percaya  diri,  menjadi  mudah  cemas,  sedih, kecewa,  marah  dan  lainnya.  Toxic  Positivity  ini  juga  terjadi  sebab  adanya  penekanan  emosi  negatif sehingga seseorang menjadi berpikir positif setiap saat mereka mengalami atau melalui sebuah keadaan yang memberatkan hati sehingga membuat mereka harus terus menerima keadaan tersebut (Uphadhyay, 2022)

    Toxic  Positivity  ini  tidak  hanya  dikenal  dengan  cara  berpikir positif  tetapi  juga  dari  cara penyampaian  seseorang,  tepatnya  dari  kata –kata  yang  dilontarkan  seperti  motivasi  yang  hendak ditujukan untuk memberikan semangat pada seseorang, namun tanpa ia sadari ternyata motivasi tersebut malah membuat orang menjadi patah semangat dan malah membuat mental mereka menjadi tidak stabil, dengan terjadinya hal tersebut membuat seseorang menjadi menekan emosi negatif mereka untuk terus berpikir positif dengan tujuan agar mereka bisa menyelesaikan masalah (Soerjoatmodjo, 2020).

     Terdapat beberapa faktor yang meyebabkan toxic positivity terjadi pada generasi z, yaitu terdapat empat  faktor,  yang  pertama  toxic  positivity  dapat  terjadi  karena  motivasi  yang  tidak  sesuai  yang diberikan oleh seseorang yang awalnya ingin memberikan dukungan namun berakhir tidak sesuai dengan yang  diharapkan,  kedua  respon  yang  menganggap  reaksi  atau  kondisi  kita  berlebihan  yang  membuat kekecewaan  dan  kemarahan  kita  meluap,  ketiga  perasan  tidak  dipahami  karena  masalah  atau  kondisi yang dihadapi dianggap remeh oleh pendengar, keempat mendapatkan kekerasan verbal yang dilakukan oleh keluarga atau teman terdekat, misalnya meminta kita untuk selalu bersyukur apapun keadaanya dan membandingkan kondisi orang lain yang tidak berkaitan dengan kondisi yang dialami sekarang (Geaby & Hendro, 2021)

    Adapun  penyebab  lain  toxic  positivity  dapat  terjadi,  diantaranya  tidak  memiliki  prinsip  yang jelas,  selalu  bergantung  pada  apa  yang  orang  lain  katakan,  tidak  mengenali  karakter  diri  sendiri, menganggap diri sendiri tidak mampu melakukan apapun, tidak percaya diri dalam melangkah dan terlalu membiarkan  orang  lain  masuk  kedalam  masalah  yang  sedang  terjadi (Zahra,  2022).

    Toxic Positivity itu terjadi karena pemikiran positif yang  berlebih  tanpa  mereka  sadari  dan  kata-kata  motivasi  yang  pada  awalnya  bersifat  positif,  namun malah membawa dampak negatif bagi yang menerimanya dan menimbulkan perasaan sedih dan kecewa, karena  respon  yang  diharapkan  tidak  sesuai  dengan  ekspektasi  atau  pikiran.  Toxic  Positivity  biasanya juga terjadi karena ada penekanan emosi negatif pada saat seseorang menghadapi sebuah masalah dan akhirnya mereka berusaha untuk tidak mengeluarkan emosi negatif tersebut. Toxic Positivity sangatlah berbahaya   bagi   kesehatan   mental   dan   dapat   memberikan   dampak   buruk   bagi   seseorang   yang mengalaminya.  Toxic  positivity  tidak  hanya  dilakukan  oleh  orang  lain  melainkan  kita  sendiri  dapat melakukan  toxic  positivity  kepada  orang  lain,  karena  itu  tidak  semua  orang  dapat  menerima  hal  yang dianggap adalah sebuah penyemangat.

 

DAFTAR PUSAKA

Samha, A. C., Angelina, T., Ramadhona, Y., Sultari, M., Aziza, A., Hussuba, F., ... & Putri, R. T. (2022, December). Toxic Positivity Pada Generasi Z. In Proceeding Conference On Psychology and Behavioral Sciences (Vol. 1, No. 1, pp. 90-94).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fun Fact: Kalian Tau Gak Sih Erotomania Itu Apa? Yuk Sama-sama Kita Belajar Bareng

EROTOMANIA      Erotomania adalah kondisi di mana seseorang meyakini dengan kuat bahwa ada seseorang yang mencintainya, meskipun kenyataannya tidak demikian. Bahkan, dalam beberapa kasus, penderita erotomania mungkin meyakini bahwa orang terkenal tertentu mencintainya.      Orang dengan erotomania memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka sedang disukai oleh seseorang, meskipun orang tersebut mungkin tidak mengenal atau pernah bertemu dengan mereka.       Gangguan delusi erotomania bisa muncul hanya dari berkhayal, mendengar berita, atau melihat aktivitas di media sosial seseorang. Meskipun gangguan ini lebih umum dialami oleh wanita, pria juga dapat mengalaminya. Gejala yang dapat menjadi tanda-tanda seseorang sedang mengalami gangguan erotomania      Selain keyakinan yang berlebihan bahwa seseorang mencintainya, penderita erotomania juga mungkin mengalami gejala-gejala berikut: Menghabiskan waktu berbicara tentang orang yang ...

Fun Fact : Pernahkah kamu mendengar tentang Impostor Syndrome? mari kita sama-sama mempelajarinya!

  IMPOSTOR SYNDROME Impostor syndrome adalah perasaan dimana seseorang merasa kesuksesan mereka disebabkan oleh kebetulan atau keberuntungan atau usaha keras yang misterius dan bukan karena kemampuan dan kompetensi mereka sendiri, hal ini dapat diukur melalui fake, luck dan discount. Orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terbentuknya fenomena Impostor Syndrome pada anak-anak mereka. Ketika bertemu dengan penderita Impostor Syndrome yang sudah dewasa, pesan atau perilaku yang diberikan oleh orang tua mereka di masa kanak-kanak adalah faktor pendorong munculnya Impostor Syndrome . Pesan yang biasanya diterima dari orang tua hanyalah kritik dan jarang mendapat pujian dari orang tua. Ketika seorang anak mendengar kritik yang konsisten untuk sesuatu yang tidak sempurna, mereka belajar bahwa tidak ada hal lain yang penting, orang tua hanya memperhatikan tentang kesalahan yang dilakukan oleh anak mereka. Di sisi lain, jika anak tidak pernah menerima pujian apa pun...

Fun Fact : Pernahkah kamu mendengar istilah "SELF CARE" ?? Yuk kita cari tau sama-sama

SELF CARE        Self-care merujuk pada tindakan individu untuk merawat dirinya sendiri secara fisik, mental, dan emosional guna menjaga kesejahteraan dan kualitas hidupnya. Self-care adalah konsep yang melibatkan kesadaran individu terhadap kebutuhan pribadinya serta pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ini dapat mencakup hal-hal seperti istirahat yang cukup, menjaga pola makan sehat, olahraga, meditasi, hingga mengelola stres dan emosi.      Menurut World Health Organization (WHO), self-care adalah kemampuan individu, keluarga, dan komunitas untuk mempromosikan kesehatan, mencegah penyakit, menjaga kesehatan, dan mengatasi penyakit dengan atau tanpa dukungan tenaga kesehatan. Aspek Self-Care: 1. Self-Care Fisik: Melibatkan kegiatan yang membantu menjaga kesehatan fisik, seperti tidur yang cukup, pola makan seimbang, olahraga rutin, dan menjaga kebersihan diri. 2. Self-Care Mental: Fokus pada menjaga kesehatan mental dan emosional ...